Download Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya (darurat sipil/militer/perang)

Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya (dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang )
Download Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya File PDF


Salinan Isi Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya:

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1959 TENTANG PENCABUTAN UNDANG UNDANG NO. 74 TAHUN 1957 (LEMBARAN NEGARA NO. 160 TAHUN 1957) DAN MENETAPKAN KEADAAN BAHAYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

1.bahwa berhubung dengan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 perlu ditetapkan peraturan Negara baru tentang keadaan bahaya untuk mengganti Undang-undang Keadaan bahaya 1957;

2.bahwa karena keadaan yang memaksa, peraturan baru tentang keadaan bahaya itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Mengingat: Pasal 12 Undang-undang Dasar; Mengingat pula: Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;

Mendengar:

1.Dewan Pertimbangan Agung pada tanggal 25 Nopember 1959;

2.Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 8 Desember l959;

Memutuskan :

Pertama : Mencabut Undang-undang No. 74 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 160);
Kedua : Dengan membatalkan semua peraturan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini,

Menetapkan:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaya.

BAB I
PERATURAN UMUM.

Pasal 1

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

(2) Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Pasal 2

(1) Keputusan yang menyatakan atau menghapuskan keadaan bahaya mulai berlaku pada hari diumumkan, kecuali jikalau ditetapkan waktu yang lain dalam keputusan tersebut.

(2) Pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden.

Pasal 3

(1) Penguasaan tertinggi dalam keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.

(2) Dalam melakukan penguasaan keadaan darurat sipil/keadaan darurat militer/keadaan perang, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:

1.Menteri Pertama;

2.Menteri Keamanan/Pertahanan;

3.Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;

4.Menteri Luar Negeri;

5.Kepala Staf Angkatan Darat;

6.Kepala Staf Angkatan Laut;

7.Kepala Staf Angkatan Udara;

8.Kepala Kepolisian Negara.

(3) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang dapat mengangkat Menteri/Pejabat lain selain yang tersebut dalam ayat (2) pasal ini, apabila ia memandang perlu.

Pasal 4

(1) Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(2) Penguasa Darurat Sipil Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:

1.Seorang Komandan Militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan.;

2.Seorang Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan;

3.Seorang Pengawas/Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan.

(3) Penunjukan anggauta-anggauta badan tersebut dalam ayat (2) pasal ini dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(4) Untuk sesuatu daerah, Penguasa Darurat Sipil Pusat dapat menentukan susunan penguasaan dalam keadaan darurat sipil yang berlainan dari pada ketentuan dalam ayat (2) pasal ini, apabila ia memandang perlu berhubung dengan keadaan.

Pasal 5.

(1) Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat militer dilakukan oleh Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya Komandan kesatuan Resimen Angkatan Darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/Angkatan Udara yang sederajat dengan itu selaku Penguasa Darurat Militer Daerah yang daerah-hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(2) Penguasa Darurat Militer Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibantu oleh:

1.Seorang Kepala Daerah dari daerah yang bersangkutan;

2.Seorang Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan;

3.Seorang Pengawas/Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan.

(3) Penunjukan anggauta-anggauta badan tersebut dalam ayat (2) pasal ini dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(4) Untuk sesuatu daerah, Penguasa Darurat Militer Pusat menentukan susunan penguasaan dalam keadaan darurat militer yang berlainan dari pada ketentuan dalam ayat (2) pasal ini, apabila ia memandang perlu berhubung dengan keadaan.

Pasal 6.

(1) Di daerah-daerah penguasaan keadaan perang dilakukan oleh Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya Komandan kesatuan Resimen Angkatan Darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/Angkatan Udara yang sederajat dengan itu selaku Penguasa Perang Daerah yang daerah-hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. (2)Penguasa Perang Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:

1.Seorang Kepala Daerah dari daerah yang bersangkutan;

2.Seorang Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan;

3.Seorang Pengawas/Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan.

(3)Penunjukan anggauta-anggauta badan tersebut dalam ayat (2) pasal ini dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(4)Untuk sesuatu daerah, Penguasa Perang Pusat dapat menentukan susunan penguasaan dalam keadaan perang yang berlainan dari pada ketentuan dalam ayat (2) pasal ini, apabila ia memandang perlu berhubung dengan keadaan.

Pasal 7

(1) Dalam melakukan wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajibannya. Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah menuruti petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah yang diberikan oleh Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat dan bertanggung-jawab kepadanya.

(2) Jika dalam bagian wilayah yang dinyatakan dalam tingkatan keadaan darurat sipil, terdapat beberapa orang Kepala Daerah yang menjabat Penguasa Darurat Sipil Daerah, maka tiap-tiap Kepala Daerah yang menjabat Penguasa Darurat Sipil Daerah diwajibkan menjalankan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah dari Kepala Daerah yang menjabat Penguasa Darurat Sipil Daerah yang lebih tinggi kedudukannya dalam wilayah tersebut, kecuali apabila Penguasa Darurat Sipil Pusat menentukan lain.

(3) Jika dalam bagian wilayah yang dinyatakan dalam tingkatan keadaan darurat militer/keadaan perang, terdapat beberapa orang Komandan Militer yang menjabat Penguasa Darurat Militer Daerah/Panguasa Perang Daerah, maka tiap-tiap Komandan Militer yang menjabat Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah diwajibkan menjalankan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah dari Komandan Militer yang menjabat Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah yang lebih tinggi kedudukannya dalam wilayah tersebut, kecuali apabila Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat menentukan lain.

(4) Jika dalam bagian wilayah yang dinyatakan dalam tingkatan keadaan darurat militer/keadaan perang, terdapat Komandan Militer yang menjabat Penguasa Darurat Militer Daerah/ Penguasa Perang Daerah dan Komandan Militer lain yang menjadi atasan dari Komandan Militer tersebut, tetapi yang tidak menjabat Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah, maka Komandan Militer Penguasa Darurat Militer Daerah/ Penguasa perang Daerah itu tetap menjalankan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dari Komandan Militer atasannya, kecuali apabila Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat menentukan lain.

(5) Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat dapat mencabut sebagian dari kekuasaan Yang diberikan oleh Peraturan ini kepada Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah.

(6) Wewenang-wewenang yang oleh Peraturan ini diberikan kepada seorang Penguasa dalam rangka keadaan bahaya, tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain.

BAB II
TENTANG KEADAAN DARURAT SIPIL.

Pasal 8

(1) Selama keadaan darurat sipil berlangsung, ketentuan-ketentuan dalam Bab ini berlaku untuk wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam keadaan darurat sipil.

(2)Apabila keadaan darurat sipil dihapuskan dengan tidak disusul dengan pernyataan keadaan darurat militer atau keadaan perang, maka pada saat penghapusan itu, peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah diambil oleh Penguasa Darurat Sipil tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam ayat (3).

(3) Apabila dipandangnya perlu, Kepala Daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan untuk daerahnya seluruh atau sebagian dari peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Darurat Daerah, dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan/tindakan-tindakan yang dipertahankan itu dapat berlaku terus selama-lamanya empat bulan sesudah penghapusan keadaan darurat sipil.

(4) Dalam hal seluruh atau sebagian dari peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil Daerah dipertahankan menurut ayat (3) di atas, maka tugas dan wewenang Penguasa Darurat Sipil Daerah yang berhubungan dengan peraturan- peraturan/tindakan-tindakan itu diselenggarakan oleh Kepala Daerah yang mempertahankannya, kecuali jika ditetapkan lain oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(5) Dalam hal sesuatu peraturan/tindakan dipertahankan sebagai dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, maka lembaga-lembaga, badan-badan dan lain sebagainya yang terbentuk karena peraturan/tindakan tersebut tetap mempunyai kedudukan dan tugas seperti semula.

(6) Apabila keadaan darurat sipil diganti dengan keadaan darurat militer atau keadaan perang, maka peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan dari Penguasa Darurat Militer atau Penguasa perang.

Pasal 9.

(1)Peraturan-peraturan Penguasa Darurat Sipil berlaku mulai saat pengundangannya, kecuali apabila ditentukan waktu yang lain untuk itu. Pengumuman yang seluas-luasnya dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh Penguasa Darurat Sipil.

(2)Ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak berlaku dalam hal peraturan-peraturan Penguasa Darurat Sipil tidak berlaku lagi menurut pasal 8, diubah atau dicabut.

Pasal 10.

(1)Penguasa Darurat Sipil Daerah berhak mengadakan peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum atau untuk kepentingan keamanan daerahnya, yang menurut perundang-undangan pusat boleh diatur dengan peraturan yang bukan perundang-undangan pusat.

(2)Penguasa Darurat Sipil Pusat berhak mengadakan segala peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum dan untuk kepentingan keamanan.

Pasal 11.

(1)Kecuali apabila Penguasa Darurat Sipil Daerah berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini berhak mengatur suatu soal dengan peraturan atau mengambil tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan oleh ketentuan-ketentuan itu, maka peraturan-peraturan/tindakan-tindakan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pusat.

(2)Jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pusat, maka peraturan-peraturan/tindakan-tindakan itu tidak berlaku.

Pasal 12.

(1)Di daerah yang menyatakan dalam keadaan darurat sipil, setiap pegawai negeri wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh Penguasa Darurat Sipil, kecuali apabila ada alasan yang sah untuk tidak memberikan keterangan-keterangan itu.

(2)Kewajiban memberikan keterangan ditiadakan, jika orang yang bersangkutan, isteri/suaminya atau keluarganya dalam keturunan lurus atau keluarganya sampai cabang kedua, dapat dituntut karena keterangan itu.

(3)Pejabat-pejabat yang di dalam melakukan tugasnya memperoleh keterangan-keterangan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,wajib merahasiakan, kecuali apabila peraturan perundangundangan pusat yang lain menentukan sebaliknya.

Pasal 13.

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan,percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Pasal 14.

(1)Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menenpatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.

(2)Pejabat yang memasuki, menyelidiki atau yang mengadakan penggeledahan tersebut dibuat laporan pemeriksaan dan menyampaikan kepada Penguasaha Darurat Sipil.

(3)Pejabat yang dimaksudkan di atas berhak membawa orang-orang lain dalam melakukan tugasnya. Hal ini disebutkan dalam surat laporan tersebut.

Pasal 15.

(1)Penguasa Darurat Sipil berhak akan dapat menyuruh memeriksa dan mensita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.

(2)Pejabat yang melakukan pensitaan tersebut di atas harus membuat laporan pensitaan dan menyampaikannya kepada Penguasa Darurat Sipil dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.

(3)Terhadap tiap-tiap pensitaan, pembatasan atau larangan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Penguasa Darurat Sipil.

Pasal 16.

Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.

Pasal 17.

Penguasa Darurat Sipil berhak:

1.mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor tilpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio.

2.membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar,tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;

3.menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Pasal 18.

(1)Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta-idzin terlebih dahulu. ldzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.

(2)Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.

(3)Ketentuan-ketentuan. dalam ayat (1) dan (2) pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara-upacara agama dan adat dan rapat-rapat Pemerintah.

Pasal 19.

Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.

Pasal 20

Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.

Pasal 21.

Untuk pelaksanaan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil, anggauta-anggauta Kepolisian, badan-badan pencegah bahaya udara, dinas pemadam kebakaran dan dinas-dinas atau badan-badan keamanan lainnya ada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.

BAB III TENTANG KEADAAN DARURAT MILITER.

Pasal 22.

(1)Selama keadaan darurat militer berlangsung, ketentuan-ketentuan dalam Bab ini berlaku untuk seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer.

(2)Apabila keadaan darurat militer dihapuskan dan tidak disusul dengan pernyataan keadaan perang, maka pada saat penghapusan itu peraturan-peraturan/tindakan-tindakan dari Penguasa Darurat Militer tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam ayat (3) pasal ini.

(3)Apabila dipandangnya perlu, Kepala Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan untuk daerahnya seluruh atau sebagian peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Darurat Militer Daerah, dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan/tindakan-tindakan yang dipertahankan itu dapat berlaku terus selama-lamanya enam bulan sesudah penghapusan keadaan darurat militer.

(4)Dalam hal seluruh atau sebagian dari peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Darurat Militer Daerah dipertahankan menurut ayat (3) di atas, maka tugas dan wewenang Penguasa Darurat Militer Daerah yang berhubungan dengan peraturan-peraturan/tindakan-tindakan itu diselenggarakan oleh Kepala Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah yang mempertahankannya, kecuali jika ditetapkan lain oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(5)Dalam hal sesuatu peraturan/tindakan dipertahankan sebagai yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, maka lembaga-lembaga, badan-badan dan lain-lain sebagainya yang terbentuk karena peraturan/tindakan tersebut tetap mempunyai kedudukan dan tugas seperti semula.

(6)Apabila keadaan darurat militer diganti dengan keadaan perang, maka peraturan-peraturan/tindakan-tindakan dari Penguasa Darurat Militer tetap berlaku sebagai peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan dari Penguasa Perang.

Pasal 23.

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Bab ini, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal 9 dan berikutnya dari Bab II berlaku juga dalam keadaan militer, dengan ketentuan bahwa:

a.dalam pasal-pasal tersebut perkataan "Penguasa Darurat Sipil" dibaca "Penguasa Darurat Militer" dan perkataan "keadaan darurat sipil" dibaca "keadaan darurat militer";
b.dalam ayat (2) pasal 9 perkataan "menurut pasal 8" dibaca "menurut pasal 22";
c.dalam pasal 12 perkataan "setiap pegawai negeri" dibaca semua orang".

Pasal 24.

(1)Penguasa Darurat Militer berhak mengambil kekuasaan-kekuasaan yang mengenai ketertiban dan keamanan umum.

(2)Badan-badan Pemerintahan sipil serta pegawai-pegawai dan orang-orang yang diperbantukan kepadanya wajib tunduk kepada perintah-perintah Penguasa Darurat Militer kecuali badan atau pegawai/orang yang diperbantukan yang dibebaskan dari kewajiban itu oleh Presiden.

Pasal 25.

Penguasa Darurat Militer berhak:

1.mengatur, membatasi atau melarang sama sekali dengan peraturan tentang pembikinan, pemasukan dan pengeluaran, pengangkutan, pemegangan, pemakaian dan perdangangan senjata api, obat peledak, mesiu, barang-barang yang dapat meledak dan barang-barang peledak;

2.menguasai perlengkapan-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak;

3.membatasi atau melarang sama sekali dengan peraturan-peraturan untuk mengubah lapangan-lapangan dan benda-benda di lapangan itu;

4.menutup untuk beberapa waktu yang tertentu gedung-gedung tempat pertunjukan-pertunjukan, balai-balai pertemuan, rumah-rumah makan, warung-warung dan tempat-tempat hiburan lainnya, pun juga pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, toko-toko dan gedung-gedung lainnya;

5.mengatur, membatasi atau melarang pengeluaran dan pemasukkan barang-barang dari dan ke daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer;

6.mengatur, membatasi atau melarang peredaran, pembagian dan pengangkutan barang-barang dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer;

7.mengatur, membatasi atau melarang lalu-lintas di darat, di udara dan diperairan serta penangkapan ikan.

Pasal 26.

Penguasa Darurat Militer berhak mengadakan tindakan-tindakan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumumam, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Pasal 27.

Penguasa Darurat Militer berhak:

1.menyuruh menahan atau mensita semua surat-surat dan kiriman-kiriman lain yang dipercayakan kepada jawatan pos atau jawatan pengangkutan lain serta wesel-wesel dan kwitansi-kwitansi bersama jumlah uang yang distor dan dipungut itu, lagi pula membuka, melihat, memeriksa, menghancurkan atau mengubah isi dan membuat supaya tidak dapat dibaca lagi surat-surat atau kiriman-kiriman itu;

2.mengetahui surat-surat kawat yang dipercayakan kepada kantor kawat, juga menahan, mensita, menghancurkan atau mengubah isi dan melarang untuk meneruskan atau menyampaikan surat-surat kawat itu.

Pasal 28.

(1)Penguasa Darurat Militer berhak melarang orang bertempat tinggal dalam suatu daerah atau sebagian suatu daerah yang tertentu selama keadaan, darurat militer, jikalau setelah diperiksa oleh pejabat pengusut ternyata ada cukup alasan untuk menganggap orang itu berbahaya untuk daerah tersebut; serta ia berhak pula mengeluarkan orang itu dari tempat tersebut.

(2)Kepada orang yang diperlukan menurut ayat (1) pasal ini beserta mereka yang di bawah tanggungannya dapat diberikan tunjangan penghidupan yang layak. Apabila orang yang diperlakukan menurut ayat (1) itu tidak mempunyai rumah kediaman Penguasa Darurat Militer memberikan tempat tinggal, pemeliharaan dan perawatan atas tanggungan Negara.

Pasal 29.

Penguasa Darurat Militer berhak untuk melarang orang yang berada dalam daerah penguasa tersebut meninggalkan daerah itu, apabila orang tersebut dipandangnya sangat diperlukan, baik untuk keamanan umum atau pertahanan maupun untuk kepentingan perusahaan-perusahaan yang amat diperlukan guna menegakkan ekonomi Negara.

Pasal 30.

Penguasa Darurat Militer berhak mengeluarkan perintah kepada orang-orang yang ada di daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer untuk menjalankan kewajiban bekerja guna pelaksanaan peraturan-peraturannya atau guna melakukan pekerjaan lainnya untuk kepentingan keamanan dan pertahan.

Pasal 31.

Penguasa Darurat Militer Pusat berhak mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian dari pada itu atau suatu jabatan.

Pasal 32.

(1) Penguasa Darurat Militer berhak menangkap orang dan menahannya selama-lamanya dua puluh hari. Tiap-tiap penahanan yang dilakukan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah harus dilaporkan kepada Penguasa Darurat Militer Pusat dalam waktu empat belas hari.

(2)Dalam waktu sepuluh kali dua puluh empat jam orang yang ditahan harus sudah diperiksa dan hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Penguasa Darurat Militer Pusat. Dari pemeriksaan itu harus dibuat berita acara.

(3)Apabila dalam dua puluh hari pemeriksaan belum dapat selesai dan penahanan masih perlu diteruskan, maka atas persetujuan Penguasa Darurat Militer Pusat orang tersebut dapat ditahan terus sampai selama-lamanya lima puluh hari.

(4)Tiap penangkapan dan penahanan dilakukan dengan surat perintah.

Pasal 33.

Penguasa Darurat Militer berhak menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam "De Hinder-ordonnantie". "Het Stoomreglement", "Het Veiligheidsreglements". "Het Reeden-.reglement 1925", "De Schepenordonnantie 1935", "DeLuchtvaartquarantaineordonnantie", "Petroleumopslagordonnantie", "De Loodsdienstordonnantie", "De Reisregeling 1918-1924" seperti diubah dan ditambah oleh "Herziene Reisregeling 1933", "Het Toelatings- besluit", Undang-undang Pengawasan Orang Asing, "Reis-en "Verblijftoezichtsordonnantie", dan "Toelatingsordonnantie".

Pasal 34.

(1)Peraturan-peraturan dari Pemerintah Daerah Pejabat- pajabat Daerah dan Instansi-instansi Daerah lain tidak boleh dikeluarkan dan diumumkan, jika tidak memperoleh persetujuan lebih dahulu dari Penguasa Darurat Militer Daerah yang bersangkutan.

(2)Kepada Penguasa Darurat Militer Daerah dapat diberi kekuasaan penuh atau kekuasaan bersyarat oleh Presiden untuk mengatur hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, kecuali hal-hal yang harus diatur dengan Undang-undang.

BAB IV TENTANG KEADAAN PERANG.

Pasal 35.

(1)Selama keadaan perang berlangsung, ketentuan-ketentuan dalam Bab ini berlaku untuk seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam keadaan perang.

(2)Apabila keadaan perang dihapuskan, maka pada saat penghapusan itu peraturan-peraturan/tindakan-tindakan dari Penguasa Perang tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam ayat (3) pasal ini.

(3) Apabila dipandangnya perlu, Kepala Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan untuk daerahnya seluruh atau sebagian peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Perang Daerah, dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan/tindakan-tindakan yang dipertahankan itu dapat berlaku terus selama-lamanya enam bulan sesudah penghapusan keadaan perang.

(4)Dalam hal seluruh atau sebagian dari peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Perang Daerah dipertahankan menurut ayat (3) di atas, maka tugas dan wewenang Penguasa Perang Daerah yang berhubungan dengan peraturan-peraturan/tindakan- tindakan itu diselenggarakan oleh Kepala Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah yang mempertahankannya, kecuali jika ditetapkan lain oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

(5)Dalam hal sesuatu peraturan/tindakan dipertahankan sebagai yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, maka lembaga-lembaga, badan-badan dan lain sebagainya yang terbentuk karena peraturan/tindakan tersebut tetap mempunyai kedudukan dan tugas seperti semula.

Pasal 36.

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Bab ini, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal 9 dan berikutnya dari Bab II serta ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan berikutnya dari Bab III berlaku juga dalam keadaan perang, dengan ketentuan bahwa:

a.dalam pasal-pasal tersebut perkataan "Penguasa Darurat Sipil" dan "Penguasa Darurat Militer" dibaca "Penguasa Perang", serta perkataan "keadaan darurat sipil" dan "keadaan darurat militer" dibaca "keadaan perang"; b.dalam ayat (2) pasal 9 perkataan "menurut pasal 8" dibaca "menurut pasal 35";
c.dalam pasal 12 perkataan "setiap pegawai negeri" dibaca "semua orang".

Pasal 37.

(1)Penguasa Perang berhak mengambil atau memakai barang- barang semacam apapun juga langsung untuk kepentingan keamanan atau pertahanan.

(2)Dalam pengambilan untuk dimiliki, maka hak milik segera berpindah kepada Negara, bebas dari pada segala tanggungan hak-hak atas barang-barang itu.

(3)Salinan surat keputusan tentang penetapan pengambilan untuk dimiliki yang mengenai barang-barang tidak bergerak dan kapal-kapal yang mempunyai surat bukti resmi, disampaikan kepada yang berwajib yang harus memindahkan hak milik tersebut menurut peraturan-peraturan yang berlaku. Jikalau barang-barang itu tidak mempunyai surat umum asli, maka penetapan pengambilan untuk dimiliki itu diberitahukan kepada Asisten Wedana (Camat) atau pegawai negeri yang sederajat dengan Asisten Wedana (Camat) di daerah dimana barang-barang itu berada.

(4)Kelanjutan mengenai hak milik tersebut ditetapkan oleh Presiden.

Pasal 38.

(1)Penguasa Perang berhak sewaktu-waktu memerintahkan penyerahan barang-barang yang akan diambil untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan.

(2)Mereka yang ditunjuk untuk melaksanakan perintah tersebut dalam ayat (1) pasal ini, berhak sewaktu-waktu masuk dengan bebas kesemua tempat, juga kedalam rumah-rumah dimana disangka barang-barang itu berada.

Pasal 39.

(1)Dalam hal dilakukan pengambilan sesuatu barang untuk dipakai atau dimiliki guna kepentingan keamanan atau pertahanan, maka Penguasa Perang berhak memerintahkan kepada pejabat atau orang lain yang ada di daerah yang dinyatakan dalam keadaan perang, untuk memberi tenaga guna keperluan penggambilan dan pemakaian barang-barang tersebut.

(2)Dalam pengertian pengambilan untuk dimiliki atau pengambilan untuk dipakai, tidak termasuk penghancuran atau perusakan barang-barang, baik untuk sebagian maupun seluruhnya, guna kepentingan siasat pertahanan Negara.

Pasal 40.

Penguasa Perang berhak:

1.melarang pertunjukan-pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar;

2.menutup percetakan.

Pasal 41.

Penguasa Perang berhak:

1.memanggil orang warga-negara bukan militer, yang bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, untuk bekerja pada Angkatan Perang Republik Indonesia dan diminta pertolongan serta bantuan untuk menjaga keamanan atau ikut serta dalam pertahanan, maupun untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan militer yang dapat dilakukan olehnya; Peraturan-peraturan Hukum Pidana Tentara dan Disiplin Tentara, pun Peraturan-peraturan tentang Acara Peradilan Tentara, berlaku untuk dia dari sejak ia dipanggil; apabila panggilan tersebut tidak dipenuhi, tanpa alasan yang sah atau masuk akal, maka perbuatan orang yang dipanggil itu adalah desersi;

2. mencegah jangan sampai orang dengan sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah disanggupinya atau yang harus dipenuhinya oleh karena jabatannya apabila menurut pertimbangan Penguasa Perang hal itu mengakibatkan atau dapat diperhitungkan akan mengakibatkan kerugian pada pertahanan Negara, kerugian pada ketertiban umum atau pada kehidupan ekonomi masyarakat, dengan tidak menutup kemungkinan akan penyelesaian perselisihan-perselisihan perburuhan menurut Undang-undang yang berlaku; apabila diadakan larangan yang demikian, maka dengan jelas harus ditunjuk perubahan, perkebunan, pabrik, bengkel atau tempat dimana atau untuk maksud apa pekerjaan-pekerjaan itu harus dilakukan;

3.memerintahkan, bersama-sama dengan larangan tersebut di atas, kepada majikan untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang layak bagi kepentingan buruh yang bekerja padanya.

Pasal 42

Penguasa Perang Daerah berhak mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan/perusahaan/perkebunan atau sebagian dari padanya itu atau suatu jabatan yang ada di daerahnya.

Pasal 43.

(1)Penguasa Perang berhak dengan surat keputusan menunjuk bagi orang terhadap siapa terdapat petunjuk-petunjuk bahwa ia akan mengganggu keamanan, suatu tempat tertentu sebagai tempat berdiam untuk sementara dan membawanya kesitu;

(2)Salinan surat keputusan dan berita acara pemeriksaan yang bersangkutan dalam waktu empatbelas hari harus dikirimkan kepada Presiden dan kepada orang itu sendiri.

(3)Terhadap perlakuan tersebut dapat diajukan keberatan oleh orang yang bersangkutan kepada Presiden yang dalam hal ini mengambil putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.

(4)Jika suatu tempat ditetapkan sebagai tempat berdiam, maka orang-orang yang bersangkutan dapat ditempatkan di bawah pengawasan istimewa dan mereka harus tunduk kepada peraturan-peraturan dari pejabat yang ditetapkan oleh Penguasa Perang berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Penguasa tersebut.

(5)Tempat-tempat yang ditunjuk sebagai tempat berdiam berdasarkan ayat (1) pasal ini ada di bawah pengurusan Departemen Kehakiman.

(6)Peraturan Pemerintah mengatur hal-hal mengenai pemeliharaan barang-barang kepunyaan orang yang diperlakukan menurut pasal ini dan juga mengenai kepentingan-kepentingan lain yang bertalian dengan perlakuan termaksud.

(7)Tiap-tiap bulan Penguasa Perang Daerah harus menyampaikan laporan kepada Presiden mengenai apa sebab sesuatu perlakuan menurut pasal ini dilanjutkan.

Pasal 44.

(1)Pengusaha Perang berhak, dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pusat, mengadakan peraturan atau mengambil tindakan yang bagaimanapun juga sifatnya, selain dari pada yang diperbolehkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Bab II, Bab  III dan Bab IV Peraturan ini, apabila hal itu dianggapnya perlu karena keadaan yang membahayakan keselamatan Negara yang sangat mendesak pada saat itu.

(2)Dalam hal Penguasa Perang Daerah mengadakan,/mengambil suatu peraturan/tindakan berdasarkan ayat (1) pasal ini, maka ia dengan secepat mungkin memberitahukan hal itu kepada Presiden.

Pasal 45.

(1)Dengan memperluas ketentuan seperti tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) pasal 948 ayat kedua maka pada tempat-tempat di mana dalam lingkungan enam kilometer tidak terdapat seseorang yang berhak untuk melakukan pekerjaan notaris, atau tidak dapat diminta pertolongan dari Departemen dari orang-orang yang berhak melakukan pekerjaan notaris itu karena terputusnya lalu-lintas atau karena orang-orang itu tidak ada, tidak sempat atau berhalangan, maka kehendak yang terakhir dapat dinyatakan dan dibuat di hadapan tiap-tiap pejabat umum atau tiap-tiap perwira Angkatan Perang, dengan disaksikan oleh dua orang.

(2)Terhadap kehendak terakhir dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dipergunakan sebagai pedoman ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 949, 950, ayat kedua dan 953 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

(3)Di tempat-tempat yang dimaksud ayat (1) pasal ini dapat juga dibuat kehendak terakhir dengan surat akte di bawah tangan, asal saja surat ini seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh yang meninggalkan waris.

(4)Terhadap kehendak terakhir dimaksud dalam ayat (3) pasal ini dipergunakan sebagai pedoman ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 952 dan 953 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB V

TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN UNTUK MENEGAKKAN DAN MENGATUR AKIBAT DARI PELAKSANAAN KEKUASAAN, SERTA KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA.

Pasal 46.

(1)Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berhak, apabila perlu dengan memakai kekerasan meniadakan, mencegah, menjalankan atau mengembalikan dalam keadaan semula segala sesuatu yang sedang atau yang telah dibuat atau diadakan, dilakukan, diabaikan, dirusakkan atau diambil, bertentangan dengan Peraturan ini atau peraturan-peraturan atau perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer Penguasa Perang berdasarkan Peraturan ini.

(2)Biaya tindakan yang diambil oleh Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berdasarkan hak tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditanggung oleh si pelanggar. Biaya ini dapat ditagih dengan surat paksaan yang sama kekuatannya dan sama cara menjalankannya seperti suatu salinan resmi dari suatu keputusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diubah lagi.

(3)Kecuali dalam hal-hal yang memerlukan penyelesaian dengan segera maka tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berdasarkan hak tersebut dalam ayat (1) pasal ini, baru boleh diambil setelah dengan tulisan yang bersangkutan diberitahu.

Pasal 47.

(1)Barang-siapa melanggar peraturan dari Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berdasarkan Peraturan ini, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh ribu rupiah, apabila tindak pidana itu tidak diancam dengan hukuman yang lebih berat dalam atau berdasarkan Peraturan ini.

(2)Selain dari pada hukuman yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini, dapat dirampas:

a.barang-barang yang digunakan dalam tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini;
b.barang-barang yang menurut putusan hakim harus dipandang sama kedudukannya, seluruhnya atau sebagian, dengan barang- barang yang dimaksud dalam ayat (2) sub a pasal ini;
c.barang-barang yang diperoleh dari tindakan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini atau barang-barang yang dipakai dalam melakukan tindak pidana tersebut.

(3)Perampasan barang-barang yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini dilakukan juga terhadap barang-barang yang bukan kepunyaan terhukum.

Pasal 48.

Barangsiapa melanggar peraturan dari Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berdasarkan pasal-pasal 13, 16, 18 ayat (1), 25 angka 1, 3, 5, 6 dan 7, 26, 30, 40 angka 1, 37 ayat (1), 38 ayat (1), 39 ayat (1), 41 angka 2 dan 3 Peraturan ini, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah.

Pasal 49.

Barangsiapa tidak menuruti perintah dari Penguasa Darurat. Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, apabila tindak pidana itu tidak diancam dengan hukuman yang lebih berat dalam atau berdasarkan Peraturan ini.

Pasal 50.

Barangsiapa menolak atau dengan sengaja melalaikan untuk memenuhi kewajiban yang termaktub dalam pasal 12 ayat (1), dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah.

Pasal 51

Anggauta-anggauta badan pemerintahan sipil atau pegawai-pegawai sipil yang menolak atau dengan sengaja melalaikan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam pasal-pasal 12 ayat (1), 21 dan 24 ayat (2) Peraturan ini, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 52.

Barangsiapa tidak menaati suatu syarat yang ditentukan oleh Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berhubung dengan pembebasan terhadap peraturan yang diberikan oleh Penguasa tersebut, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh ribu rupiah, apabila tindakan pidana itu tidak diancam dengan hukuman yang lebih berat dalam atau berdasarkan Peraturan ini.

Pasal 53.

Barangsiapa tidak menuruti perintah dari Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang yang diberikan berdasarkan pasal 28 ayat (1), dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 54.

Apabila kejahatan yang dimaksud dalam pasal-pasal 211, 212, 213, 214, 216, 217, 218, dan 219 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, maka hukuman-hukuman tersebut dalam pasal-pasal itu dijadikan dua kali lipat.

Pasal 55.

Selain dari pejabat-pejabat pengusut yang tersebut dalam peraturan-peraturan tentang Hukum Acara Pidana, Penguasa Darurat Sipil, Penguasa Darurat Militer atau Penguasa Perang dapat mengangkat serta menyumpah orang untuk bertindak sebagai pengusut mengenai kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan hukuman menurut Peraturan ini.

Pasal 56.

Apabila tanggung-jawab atas tindak pidana menurut atau berdasarkan Peraturan ini ada pada suatu badan hukum, maka tuntutan hukum dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan terhadap anggautu-anggauta pengurusnya.

Pasal 57.

(1)Pejabat-pejabat Penguasa Darurat Sipil Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang yang menyalah-gunakan wewenang yang diberikan kepalanya oleh Peraturan ini, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun.

(2) Ketentuan dalam ayat (1) pasal ini tidak berlaku, apabila perbuatan penyalah-gunaan termaksud merupakan tindak pidana yang telah diatur dan diancam dengan hukuman yang lebih berat dalam Undang-undang lain.

Pasal 58.

Tindak pidana menurut atau berdasarkan Peraturan ini adalah pelanggaran, kecuali tindak pidana menurut pasal-pasal 50, 51, 53 dan 57, yang dianggap sebagai kejahatan.

Pasal 59.

Apabila terpaksa, maka dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, tiap-tiap penahanan, baik yang dilakukan berdasarkan Peraturan ini maupun yang berdasarkan peraturan-peraturan lain, dapat dilakukan di tempat yang ditunjuk oleh Penguasa Darurat Sipil, Penguasa Darurat Militer atau Penguasa Perang.

Pasal 60.

Mereka yang dirugikan karena tindakan-tindakan berdasarkan Peraturan ini yang ternyata tidak beralasan, berhak atas penggantian kerugian.

BAB VI

PARATURAN PERALIHAN.

Pasal 61.

Segala peraturan-peraturan/tindakan-tindakan yang dikeluarkan/diambil menurut atau berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya 1957 dan yang pada tanggal 16 Desember 1959 masih berlaku, berlaku terus untuk selama-lamanya enam bulan lagi, dengan ketentuan, bahwa:

a.untuk daerah yang dinyatakan dalam keadaan perang/keadaan darurat militer/keadaan darurat sipil menurut Peraturan ini, peraturan-peraturan/tindakan-tindakan yang dikeluarkan/diambil oleh Dewan Menteri/Presiden/Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, Angkatan Laut atau Angkatan Udara, dianggap sebagai peraturan-peraturan/tindakan-tindakan Penguasa Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah menurut Peraturan ini;


b.dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan perang/keadaan darurat militer/keadaan darurat sipil menurut Peraturan ini, maka selama belum ditunjuk Penguasa Perang Daerah/ Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Darurat Sipil Daerah untuk daerah itu menurut Peraturan ini, penguasaan keadaan perang/keadaan darurat militer/keadaan darurat sipil dilakukan oleh Penguasa Perang Daerah pada tanggal 16 Desember 1959:

c. untuk daerah yang tidak dinyatakan dalam keadaan bahaya menurut Peraturan ini, tugas dan wewenang Dewan Menteri Presiden/Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, Angkatan Laut atau Angkatan Udara yang berhubungan dengan peraturan-peraturan/tindakan-tindakan tersebut diselenggarakan oleh Presiden, sedang tugas dan wewenang Penguasa Perang Daerah yang berhubungan dengan peraturan-peraturan/tindakan-tindakan tersebut diselenggarakan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan;

d. lembaga-lembaga, badan-badan dan lain sebagainya yang terbentuk karena peraturan-peraturan/tindakan-tindakan tersebut tetap mempunyai kedudukan dan tugas seperti semula sampai diubah/diganti.

BAB VII

PERATURAN PENUTUP.

Pasal 62.

Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 1959,
Presiden Republik Indonesia,

SOEKARNO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 1959,
Menteri Muda Kehakiman,

SAHARDJO.

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG  TENTANG KEADAAN BAHAYA.

PENJELASAN UMUM.

1. Jika suatu Negara terancam oleh bahaya atau kehidupannya berada dalam bahaya, maka perhatiannya harus dipusatkan pada kedudukannya sendiri, oleh karena bagaimanapun juga, Negara tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuannya, apabila Negara itu sendiri roboh kelak. Berhubung dengan itu, maka adakalanya terpaksa diadakan perobahandalam susunan, pembagian dan sifat kekuasaan Negara serta dalam kedudukan Negara terhadap penduduk negeri, agar dapat bertindak terhadap bahaya yang dihadapinya dengan kekuasaan-kekuasaan yang istimewa. Ini berarti, bahwa kemungkinan untuk menyimpang dari hukum ovyektif harus diadakan, karena perangkaian kaidah yang ada, menjadi amat rendah kedudukannya sebagai unsur dari keputusan untuk mengambil suatu tindakan terhadap unsur kenyataan-kenyataan yang mengancam Negara, bahkan harus diterima pula, bahwa ada kalanya tindakan pemerintah hanya untuk mengatasi keadaan bahaya itu semata- mata atas dasar kaidah darurat. Undang-undang Dasar 1945, yang berlaku kembali sejak 5 Juli 1959 pasal 12, sekarang menjadi dasar bagi pemerintah untuk dapat menyatakan seluruh/sebagian wilayah Negara dalam keadaan bahaya. Pasal 12 tidak menghendaki bahwa kekuasaan pemerintah dalam keadaan bahaya untuk menyimpang dari hukum obyektif, hanya bersandar pada satu atau beberapa ketentuan yang umum bunyinya, akan tetapi mengharuskan adanya suatu undang-undang yang mengatur syarat-syarat pernyataan keadaan bahaya pun akibat-akibat pernyataan demikian itu.
Undang-undang keadaan bahaya yang dimaksud itu tidak lain daripada suatu peraturan yang menentukan bagaimana batas-batas kekuasaan-kekuasaan yang harus diberikan dalam hal-hal yang tertentu, supaya penguasa yang bertanggung jawab dapat melakukan tugasnya dengan seksama. Begitulah diluar peraturan keadaan bahaya itu tidak ada pembatasan dari hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang Dasar atau Undang-undang dan juga tidak ada alasan dalam keadaan bahaya untuk mengesahkan tindakan-tindakan menurut pandangan sendiri-sendiri diluar kekuatan undang-undang keadaan bahaya itu, dengan maksud supaya ada pegangan jelas bagi penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya dan ada ketentuan yang dapat dipegang oleh rakyat, agar penguasa-penguasa tidak begitu saja dapat memakai kekuasaan-kekuasaan dan dengan cara yang tidak selayaknya.

2. Pernyataan keadaan bahaya, menurut pasal 12 Undang-undang Dasar dilakukannya sendiri. Dalam peraturan keadaan bahaya ini diadakan ketentuan-ketentuan dalam hal-hal manakah pernyataan keadaan bahaya dapat dilakukan. Apabila suatu sebab/alasan yang ditentukan dalam undang-undang telah timbul, maka Presiden boleh memilih tingkatan mana yang selayaknya menurut pendapatnya dinyatakan untuk mengatasi keadaan. Dengan menetapkan hal-hal/kejadian-kejadian/keadaan-keadaan sebagai alasan untuk pernyataan suatu keadaan bahaya, maka tak diutamakan sebab-musabab daripada hal-hal/kejadian-kejadian/keadaan-keadaan tersebut. Yang panting dan yang menjadi ukuran bagi Presiden untuk menyatakan sesuatu keadaan bahaya, yaitu tingkatan keadaan bahaya yang setimpal, ialah intensiteit peristiwa/keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan Negara dan masyarakat. Selain daripada sebab-sebab/alasan-alasan yang lazim dipakai untuk menentukan apabila keadaan bahaya dapat dinyatakan, juga disebut sebagai sebab/alasan terancamnya ketertiban hukum oleh kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan lain, pun kekhawatiran akan terjadinya ancaman-ancaman yang demikian.
Menurut ilmu perang, -mengadakan kerusuhan-kerusuhan atau gangguan-gangguan ketertiban hukum dinegara musuh termasuk suatu siasat penting untuk mendahului penyerbuan umum. Siasat demikian itu yang terkenal dengan nama perang psychologis atau perang dingin dan selanjutnya perang gelap (subversif) yang kedua-duanya dilakukan tidak secara terang-terangan, tetapi dengan tipu muslihat yang halus dan bermaksud untuk merusak jiwa penduduk, ekonomi dan kedudukan negara musuh.
Selanjutnya dalam Peraturan ini disebut pula secara tegas sebagai alasan, "hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara". Hal inilah dapat merupakan alasan atau alasan-tambahan pada tiap alasan lain bagi pernyataan dalam keadaan bahaya. Pengawasan oleh hakim terhadap pernyataan-pernyataan keadaan bahaya tidak diadakan, oleh karena tidak selaras dengan susunan pengara Indonesia umumnya dan tidak sesuai dengan kedudukan hakim khususnya di Indonesia ini. Juga tidak diadakan pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap sesuatu pernyataan keadaan bahaya oleh Presiden, karena tidak sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang-undang Dasar yang hanya bertanggung jawab terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3. Dengan maksud untuk lebih memperhitungkan gradities kegentingan keadaan, maka peraturan baru ini mengenal 3 tingkatan keadaan bahaya: keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan perang.

4. Agar ada kepastian tentang siapa yang memegang kekuasaan dalam keadaan bahaya berdasarkan Peraturan ini, maka oleh Peraturan ini ditentukan dari semula dengan tegas penguasa untuk keadaan bahaya dipusat, ialah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Untuk daerah ditentukan penguasa-penguasanya dalam keadaan bahaya dengan dasar susunannya. Dalam pada itu untuk menghadapi keadaan yang setiap waktu dapat berubah, dimungkinkan kepada Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat untuk menentukan susunan penguasaan dalam suatu keadaan bahaya, yang berlainan daripada dasar-susunan tersebut. Perlu diperhitungkan pula bahwa menurut Undang-undang Dasar kekuasaan Pemerintah dipegang oleh Presiden yang dalam hal ini hanya bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pun unsur musyawarah dan terpimpinnya musyawarah itu perlu diberi tempat yang sewajarnya dalam kita memikirkan tentang sistim, bentuk dan susunan penguasaan dalam keadaan bahaya ini.

5. Kekuasaan-kekuasaan istimewa yang diberikan kepada penguasa-penguasa dalam keadaan bahaya tidak boleh sama besarnya pada setiap waktu keadaan bahaya. berhubung dengan kekuasaan-kekuasaan istimewa ini pada dasarnya harus sesuai dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi. Itulah sebabnya diadakan pembagian keadaan bahaya dalam beberapa tingkatan, masing-masing dengan golongan-wewenang-wewenang tersendiri bagi penguasanya. Demikianlah diperoleh susunan tingkatan-tingkatan dengan kekuasaan-kekuasaan penguasa-penguasanya sebagai berikut :

A.Dalam keadaan darurat sipil penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Sipil, dapat : 1.mengeluarkan peraturan-peraturan polisi (pasal 10); 2.meminta keterangan-keterangan dari pegawai negeri (dicatat disini, bahwa dalam keadaan darurat militer/keadaan perang penguasa dapat mewajibkan setiap orang untuk memberikan keterangan) (pasal 12;  selanjutnya pasal 23 dan 36, pada huruf c). 3.mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua pencetakan, penerbiatan dan pengumuman apapun juga (pasal 13); 4.menggeledah tiap-tiap tempat (pasal 14); 5.memeriksa dan mensita barang-barang yang disangka dipakai atau akan dipakai untuk merusak keamanan (pasal 15); 6.mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (pasal 16); 7.Mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya (pasal 17); 8.membatasi rapat-rapat umum dan lain sebagainya dan membatasi atau melarang,' memasuki dan memakai gedung (pasal 18); 9.membatasi orang berada diluar rumah (pasal 19); 10.memeriksa badan dan pakaian (pasal 20); 11.memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran dan badan-badan keamanan lainnya (pasal 21);


B.Dalam keadaan darurat militer penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Militer, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan tersebut sub A,'dapat : 1.mengambil kekuasaan sipil yang mengenai ketertiban dan keamanan umum (pasal 24 ayat 1); 2.memerintah dan mengatur badan-badan pemerintah sipil serta pegawai-pegawainya dan orang-orang yang diperbantukan kepadanya (pasal 24 ayat 2); 3.mengambil tindakan apapun juga terhadap senjata-senjata api, senjata tajam dan barang-barang peledak (pasal 25 angka 1 ); 4.menguasai dan mengatur perlengkapan-perlengkapan pos, telekomunikasi dan elektronika (pasal 25 angka 2). 5.membatasi atau melarang mengubah lapangan-lapangan dan benda-benda dilapangan itu (pasal 25 angka 3); 6.menutup untuk sementara gedung-gedung penghibur (pasar 25 angka 4); 7.melarang dan membatasi pemasukan barang-barang dari dan kedaerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat (pasal 25 angka 5); 8.membatasi atau melarang peredaran barang dan lain sebagainya (pasal 25 angka 6); 9.melarang dan membatasi lalu-lintas didarat, di perairan dan diudara (pasal 25 angka 7); 10.mengadakan tindakan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua percetakan penerbitan dan pengumuman apapun juga (pasal 26); 11.membatasi dan meniadakan hak rahasia surat dan kawat (pasal 27); 12.mengusir orang (pasal 28); 13.melarang orang meninggalkan daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer (pasal 29); 14.mengadakan kewajiban bekerja untuk kepentingan keamanan atau pertahanan dan pelaksanaan peraturan penguasa keadaan darurat militer pasal 30); 15.mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusahaan, jabatan dan seterusnya (pasal 31); 16.menangkap dan menahan orang (pasal 32); 17.menyimpang dari dan memberi beberapa terhadap Hinderordonnantie, Veilingheidsreglement dan sebagainya, karena ini menyinggung kekuasaan-kekuasaan yang lain (pasal 33); 18.memberi persetujuan sebelum peraturan-peraturan yang bukan perundang-undangan pusat dapat dikeluarkan dan diumumkan (pasal 34 ayat 1); 19.mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, setelah diberi kekuasaan oleh Presiden, kecuali hal-hal yang termasuk kekuasaan pengundang-undangan hanyalah apabila keadaan mendesak (pasal 24 ayat 2);


C.Dalam keadaan perang penguasa yang bersangkutan yaitu Penguasa Perang, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan-tersebut sub. A dan sub. B, dapat: 1.mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan (pasal 37); 2.mengerahkan tenaga guna mengambil barang tersebut angka 1 (pasal 37-38); 3.melarang pertunjukan apapun juga serta semua percetakan, penerbitan dan pengumuman apapun juga, menutup percetakan (pasal 40); 4.memanggil orang-orang untuk bekerja pada Angkatan Perang (pasal 40 angka 1); 5.mencegah pemogokan/lock out (pasal 41 angka 2 dan 3); 6.mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusahaan, jabatan dan seterusnya (pasal 42); 7.menunjuk suatu tempat kediaman untuk sementara bagi orang terhadap siapa terdapat petunjuk-petunjuk bahwa ia akan mengganggu keamanan (pasal 43'1; 8.menyimpang dari tiap peraturan perundang-undangan pusat dalam keadaan yang membahayakan keselamatan negara yang sangat mendesak (pasal 44). Kekuasaan-kekuasaan yang diberikan kepada penguasa dari suatu keadaan bahaya, dimiliki juga oleh penguasa dari tingkatan keadaan bahaya yang lebih tinggi derajatnya.

6. Dalam prinsipnya, Penguasa dalam keadaan bahaya tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan pusat, kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan menurut atau berdasarkan Peraturan ini. Mengenai kedudukan Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang serta peraturan-peraturan dan/atau tindakan-tindakan Penguasa-penguasa tersebut terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan pusat dapat disebut disini : - pasal 10 dan pasal 11 (untuk keadaan darurat sipil), -pasal 33 dan pasal 34 ayat 2 (untuk keadaan darurat militer), kemudian -pasal 44 (untuk keadaan perang). Pasal-pasal tersebut menunjukkan sesuatu yang bertingkat-tingkat dan tiap pasal mengandung syarat yang harus diperhatikan oleh penguasa yang bersangkutan. Pasal 10 menitik beratkan kepada peraturan-peraturan untuk kepentingan ketertiban umum dan/atau keamanan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa pasal 10 ayat 1 ditujukan semata-mata kepada Penguasa keadaan bahaya tingkat daerah, dan ayat 2 pasal 10 semata-mata ditujukan kepada Penguasa keadaan bahaya tingkat pusat.
Pasal 33 mengandung peperincian yang sifatnya "limitatief", sedangkan pasal 34 ayat menekankan kepada hal-hal perundang-undangan pusat yang bukan materie undang-undang (sebagai keputusan bersama dari Presiden dan D.P.R.) dan menyaratkan adanya pemberian kekuasaan oleh Presiden kepada Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah. Pasal 44 menyaratkan adanya keadaan yang membahayakan keselamatan Negara yang sangat mendesak pada saat itu.

Yang dimaksud dengan perundang-undangan pusat, ialah : a.peraturan-peraturan dari instansi-instansi pusat yang mempunyai wewenang mengatur menurut Undang-undang Dasar atau menuruti berdasarkan undang-undang. b.peraturan-peraturan dari instansi-instansi yang dibentuk oleh/berdasarkan undang-undang yang mempunyai wewenang mengatur sesuatu secara sentral.

7. Tidak boleh dilupakan bahwa wewenang-wewenang,/kekuasaan-kekuasaan yang diberikan kepada Penguasa-penguasa Keadaan Bahaya merupakan pengecualian dari pemberian serta pelaksanaan wewenang-wewenang yang bersangkutan dengan penyelenggaraan tugas alat-alat perlengkapan dalam keadaan normal. Bukan maksudnya dengan pemberian wewenang kepada Penguasa Keadaan Bahaya untuk membekukan penyelenggaraan tugas oleh alat-alat perlengkapan yang ada secara biasa. Dan sekalipun tidak dinyatakan dalam Peraturan ini secara langsung/tegas, dalam pelaksanaan wewenang-wewenang tersebut selalu harus diperhatikan hubungan baik antara alat-alat perlengkapan dan penguasa keadaan bahaya. Sejauh mungkin alat-alat perlengkapan termaksud diberi keleluasaan untuk menjalankan tugas-tugas sehari-harinya. Selanjutnya dalam mengeluarkan perintah-perintah yang ditujukan kepada pegawai-pegawai/anggauta-anggauta badan-badan keamanan dan lain sebagainya diindahkan garis-garis hierarchie yang berlaku dilingkungan badan-badan tersebut. Maka dari Pusat dapat diharapkan petunjuk-petunjuk berhubung dengan pelaksanaan wewenang-wewenang oleh Penguasa-penguasa Keadaan Bahaya Daerah agar lebih terjamin kerja-sama yang sebaik-baiknya antara Penguasa-penguasa tersebut dan alat-alat perlengkapan lainnya.

8. Dalam jawaban Pemerintah atas pemandangan umum DPR babak ke II sewaktu pembicaraan rancangan Undang-undang perpanjangan keadaan perang diakhir tahun 1958 (Undang-undang No. 82 tahun 1958; LN 1958/152), Pemerintah telah menyatakan maksudnya untuk mengadakan peninjauan kembali Undang-undang Keadaan Bahaya 1957 dan menyesuaikannya Undang- undang tersebut dengan kebutuhan praktek.
Peninjauan kembali Undang-undang Keadaan Bahaya 1957 sebagai yang dimaksud diatas ditugaskan kepada sebuah Panitya Antar-Kementerian. Berhubung dengan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 sejak tanggal 5 Juli 1959, Panitya tersebut yang hampir selesai dengan pekerjaannya telah berusaha untuk menyesuaikan rencana yang telah dihasilkan dengan azas-azas ketata-negaraan yang berlaku sejak saat tersebut.
Ternyata bahwa pekerjaan untuk menyesuaikan rancangan Peraturan Negara mengenai keadaan bahaya dengan UUD 1945 demikian luasnya sehingga tugas tersebut baru selesai pada permulaan bulan Desember 1959.
Dalam pada itu, keadaan perang yang berlaku sekarang ini, akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1959, sedangkan keadaan negara pada dewasa sekarang tidak dapat membenarkan penghentian keadaan bahaya tersebut. Dengan perkataan lain : keadaan perang yang berlangsung selama-lamanya sampai pada tanggal 16 Desember 1959 berdadasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya 1957, perlu disusul dengan perpanjangan keadaan bahaya atau pernyataan keadaan bahaya baru.
Prosedur untuk perpanjangan/pernyataan itu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Keadaan Bahaya 1957 tidak dapat di-pergunakan dalam suasana kenegaraan dewasa sekarang. Maka sungguh ada urgensi untuk menggunakan prosedur sebagai yang dirancangkan dalam Rancangan Peraturan Negara tentang Keadaan Bahaya hasil dari Panitya tersebut diatas. Menurut Pemerintah setepatnya Undang-undang Keadaan Bahaya yang telah tersusul oleh suasana dan ketata-negaraan baru sejak berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945, segera diganti.
Mengingat akan berakhirnya keadaan prang pada saat 16 Desember 1959, maka penetapan peraturan Negara baru tentang keadaan bahaya yang akan merupakan dasar untuk- masa selanjutnya sungguh memaksa dan mendesak, sehingga peraturan Negara termaksud perlu ditetapkan dengan segera. Maka peraturan tersebut ditampung dalam bentuk Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang.

PASAL DEMI PASAL:

Pasal 1.

Pernyataan keadaan bahaya, dilakukan oleh Presiden atas tanggung-jawabnya dan dalam hal ini Presiden bertanggung-jawab terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penilaian peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam ayat 1 sebagai alasan yang membolehkan keadaan bahaya dapat dinyatakan, diserahkan semata-mata kepada Presiden; maka hakim tidak dapat menguji sebuah pernyataan keadaan bahaya apakah itu menurut hukum atau tidak. Pun terserah kepada Presiden untuk menentukan dalam keputusannya tingkatan manakah yang sebaiknya dinyatakan dari tiga macam tingkatan keadaan bahaya yang tersebut dalam ayat ini berdasarkan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan baru dari sesuatu tingkatan bahaya dan taraf bahaya yang dihadapi. Perlu ditekankan bahwa tingkatan bahaya tidak tergantung kepada jenis peristiwa yang tersebut dalam ayat 1, melainkan kepada intensiteit kejadian/keadaan yang berbahaya bagi berlangsungnya kehidupan negara dan masyarakat, sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan umum. Peristiwa-peristiwa yang membolehkan pernyataan sebuah tingkatan ada tiga jenis, yaitu: Pertama, kenyataan-kenyataan sebagai pemerontakan, kerusuhan kerusuhan atau akibat bencana alam yang mengancam keamanan atau ketertiban umum sehingga dikhawatirkan keadaan tidak dapat diatasi oleh alatpalat perlengkapan secara biasa. (Yang dimaksud dengan "pemberontakan" ialah kerusuhan-kerusuhan bersenjata. Kedua, kenyataan-kenyataan yang langsung atau tidak langsung mengakibatkan perang. Dengan ini, maka ayat 1 angka 2 juga mengandung kemungkinan akan terjadinya pertikaian dengan negeri  lain sebagai alasan untuk menyatakan sebuah tingkatan keadaan bahaya, sedangkan perang saudara tidak termasuk kenyataan-kenyataan yang disebutkan oleh ayat 1 angka 2 akan tetapi disinggung oleh ayat 1 angka 1. Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya karena sebab apapun juga, atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata adan atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membayakan hidup negara. Pengertian tia-tiap bagian wilayah Indonesia tidak terbatas pada bagian-bagian administratif dan pada wilayah daratan Indonesia saja, sehingga bagian manapun juga, kecil atau besar, bagian daratan atau lautan ataupun bagian udara, dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya. Jika tidak ada perlunya lagi untuk melanjutkan suatu keadaan bahaya, maka keadaan bahaya ini harus dihapuskan; penghapusan suatu tingkatan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden.

Pasal 2.

Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Pengumuman pernyataan/penghapusan keadaan babahaya dilakukan oleh Presiden. Yang menjadi pedoman disini ialah hal bahwa sedapat-dapatnya seluruhnya rakyat yang bersangkutan dapat mengetahui tentang pernyataan/penghapusan sesuatu keadaan bahaya.

Pasal 3.

Periksalah Penjelasan Umum angka 4. Para pembantu merupakan suatu badan pembantu yang jumlah anggota-anggotanya dapat ditambah oleh Presiden sendiri menurut kebutuhan nantinya. Tugas badan-pembantu tersebut sebagai keseluruhan dan tugas masing-masing anggota ialah ikut memikirkan pelaksanaan wewenang-wewenang Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku Penguasa Keadaan Bahaya Pusat, baik dalam kedudukannya sebagai Penguasa keadaan bahaya disamping Penguasa-penguasa keadaan bahaya lainnya, maupun dalam kedudukannya sebagai yang memimpin penyelenggaraan penguasaan keadaan bahaya oleh Penguasa-penguasa tingkat daerah. Berhubung dengan yang diuraikan diatas dapat ditunjuk kepada ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 pada ayat 1 dan ayat 5.

Pasal 4.

Periksalah Penjelasan Umum angka 4. Sama dasarnya dengan yang berlaku bagi penguasa keadaan bahaya pada tingkat pusat. Diperhitungkan dalam pasal ini kedudukan Kepala Daerah menurut Penetapan Presiden No. 6 - 1959 sebagai pemimpin pemerintahan tingkat daerah. Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa dalam rangka keadaan bahaya dibidang legislatif Kepala Daerah tidak lagi terikat oleh syarat berupa kerja-sama dengan Badan Pemerintahan Harian seperti dalam keadaan biasa.

Pasal 5.

Periksalah Penjelasan Umum angka 4. Sama dasarnya dengan yang berlaku bagi penguasa keadaan bahaya pada tingkat pusat. Unsur militer lebih tampil kemuka daripada dalam keadaan darurat sipil. Dicatat bahwa penetapan jenis dan luas daerah-hukum sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, diserahkan kepada Presiden yang barang tentu akan memutus setelah mendengar pertimbangan para pembantunya sebagai yang disebut dalam ayat (2) pasal 3. Dari ayat (1) pasal ini jelas juga bahwa, tidak selalu seorang Komandan dari Angkatan Darat yang akan ditunjuk sebagai Penguasa Darurat Militer. Dan jika masih dianggap perlu agar kepentingan Angkatan/Angkatan-angkatan lainnya diwakili pula dalam, penyelenggaraan penguasaan keadaan bahaya atas suatu daerah tertentu, maka dapat diadakan pengluasan daripada susunan yang tergambar dalam ayat (2). Lagipula tidak tertutup kemungkinan untuk sama sekali menyimpang dari pola yang terlukis dalam ayat (2). Dengan rumusan yang termuat dalam ayat (1) dan dalam ayat (4) Pemerintah bermaksud pula untuk memberikan dasar bagi penetapan suatu keadaan dalam mana suatu daerah "istimewa" (lautan atau daratan -ataupun di-udara) berada dalam keadaan bahaya dibawah penguasa seorang Komandan Angkatan Laut atau Angkatan Udara.

Pasal 6.

Periksalah Penjelasan Umum angka 4. Sama dasarnya dengan yang berlaku bagi penguasa keadaan bahaya pada tingkat pusat. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini untuk keadaan perang adalah sama dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 yang berlaku untuk keadaan darurat militer. Selanjutnya, perhatikalanlah penjelasan pada pasal 5.

Pasal 7.

Ayat 1 : sesuai dengan gagasan pemuatan kekuasaan Pemerintahan pada Pemerintah Pusat c.q. Presiden. Lagipula sangat penting guna kelancaran koordinasi dalam bidang perundang-undangan dan pemerintahan dalam rangka keadaan bahaya. Perhatikanlah selanjutnya Penjelasan Umum pada angka 4 dan pada angka 7. Ayat 2 dan 3 : keadaan-keadaan istimewa yang praktisnya merupakan pengecualian daripada hal bahwa Penguasa Darurat Sipil Daerah/Penguasa Darurat Militer Daerah/Penguasa Perang Daerah langsung dibawah Penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat. Ayat 4 : terutama ditujukan kepada garis-garis komando (dalam keadaan operasi dan dalam keadaan-keadaan lainnya) yang tetap berlaku antara komandan atasan dan komandan bawahan. Perkataan "atasan" disini adalah dalam arti "fungsionil-hierarchis". Oleh ayat ini Penguasa Keadaan Bahaya Pusat diberi wewenang pula untuk mengatur soal hierarchies jika dalam suatu daerah terdapat Komandan-komandan dari berbagai Angkatan. Ayat 5 : periksalah penjelasan pada ayat 1 pasal ini. Ayat 6 : maksudnya agar jangan sampai pertanggungan-jawab dalam penguasaan dalam keadaan bahaya menjadi kabur.

Pasal 8.

Ayat 1: Dari bagian wilayah yang dinyatakan dalam tingkatan keadaan darurat sipil perlu sekali diketahui batas-batasnya, karena disana sajalah kekuasaan-kekuasaan yang istimewa diberikan itu dapat dipakai. Maka dari itu, perlu batas-batas bagian wilayah yang dimaksudkan, ditetapkan dengan teliti dalam Keputusan Presiden yang bersangkutan. Ayat 2 : Oleh karena dalam prinsipnya kekuasaan-kekuasaan baru itu hanya diberikan untuk keadaan yang membahayakan bagi Negara/Daerah, maka dengan sendirinya tidak ada alasan untuk mempertahankan kekuasaan-kekuasaan itu, apabila bahaya itu tidak ada lagi. Maka "keadaan bahaya" segera harus dihapuskan. Sejak saat penghapusan itu, maka peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang telah diambil oleh Penguasa Darurat berdasarkan Peraturan ini, tidak lagi berlaku. Demikianlah makna ayat 2. Akan tetapi, oleh karena tindakan-tindakan yang telah diambil mengakibatkan hubungan-hubungan baru pula dalam masyarakat, maka ada kalanya beberapa peraturan/tindakan perlu dipertahankan terus. Dengan adanya ketentuan sebagai yang termaktub dalam ayat 2 tidak boleh dipahamkan, bahwa tindakan-tindakan yang bersangkutan serta akibat-akibatnya terhapus menurut hukum dari sejak waktu keadaan darurat dihapuskan. Banyak tindakan yang mungkin telah dijalankan pada ketika penghapusan keadaan bahaya berlaku. Bukanlah maksud ayat d' untuk menyangkal sahnya tindakan-tindakan yang demikian itu serta akibat-akibatnya. Maksud ayat 2 tidak lain daripada melarang mengeluarkan peraturan-peraturan atau mengambil tindakan-tindakan baru sesudah penghapusan keadaan bahaya berlaku. Ayat 3 : Kepala Daerah yang bersangkutan dapat mempertahankan suatu peraturan/tindakan Penguasa Darurat Sipil Daerah buat selama-lamanya 4 bulan sesudah penghapusan keadaan darurat yang bersangkutan. Maksudnya ialah bahwa dalam jangka waktu tersebut didaerah yang bersangkutan sudah tercapai suatu keadaan dalam mana segala sesuatu sudah dapat dilayani/diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. Tentu saja penghapusan tingkatan keadaan darurat sipil yang diganti dengan pernyataan darurat militer atau tingkatan keadaan perang, mengakibatkan tetap berlakunya peraturan-peraturan/ tindakan-tindakan yang telah dikeluarkan/diambil oleh Penguasa Darurat Sipil berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam bab ini. (periksalah ayat 6). Maklumlah, tingkatan keadaan perang mampunyai derajat yang lebih tinggi daripada tingkatan keadaan darurat, artinya kekuasaan-kekuasaan yang diberikan oleh Peraturan ini untuk tingkatan pertama, yaitu tingkatan keadaan darurat, juga dimiliki oleh pemangku kekuasaan dalam tingkatan keadaan perang. Ayat 4 dan ayat 5 : Memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku jika suatu/beberapa peraturan dan/atau tindakan Penguasa Darurat Sipil dipertahankan oleh Kepala Daerah. Ayat 6 : Periksalah penjelasan ayat 3 diatas.

Pasal 9.

Agar rakyat dapat mengindahkan/memperhitungkan keadaan sebenarnya dan agar tercapai kerja-sama yang baik antara alat-alat negara, maka baik rakyat maupun penjabat-penjabat sipil dan militer seharusnya mengetahui peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Untuk itu perlu diadakan pengumuman seluas-luasnya. (periksalah ayat 1). Ketentuan dalam pasal 1 ayat 2 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang tidak berlaku disini, ialah ketentuan yang berbunyi "Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka dipakailah ketentuan yang paling baik/ringan bagi tersangka". Demikian ini tak lain tak bukan karena perubahan perundang-undangan yang dimaksud dalam ayat 2 pasal 9 ini tidak disebabkan karena perubahan dalam penilaian terhadap tindak-pidana sebagai yang telah dilakukan oleh seseorang.

Pasal 10.

Pasal ini mengenai peraturan-peraturan Penguasa Darurat Sipil yang diadakan untuk kepentingan ketertiban umum atau keamanan ("politie-verodeningen"). Yang boleh diselenggarakan oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah ialah hal-hal yang menurut perundang-undangan pusat boleh diatur dengan peraturan yang bukan perundang-undangan pusat. Dalam mengatur hal-hal tersebut Penguasa Darurat boleh menyimpang dari peraturan yang bukan perundang-undangan pusat. (ayat 1.). Perhatikanlah juga pasal 11. Terhadap peraturan-peraturan untuk kepentingan ketertiban umum atau untuk kepentingan keamanan, yang dibuat oleh Penguasa Darurat Sipil Pusat tidak ada pembatasan apapun juga (periksalah ayat 2).

Pasal 11.

Tentang prinsip yang terkandung dalam pasal ini, periksalah penjelasan umum. Pengawasan hakim apakah peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil bertentangan dengan perundang-undangan pusat tidak dapat disangkal, ayat 2 pasal ini tegas menentukan kedudukan peraturan/tindakan Penguasa Darurat Sipil yang demikian. Untuk keadaan darurat militer, perhatikanlah ketentuan dalam pasal 34 ayat 2 dan untuk keadaan perang, periksalah pasal 44.

Pasal 12.

Maksud pasal ini adalah untuk memudahkan Penguasa Darurat Sipil dalam usahanya mencegah tindakan-tindakan yang mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Sementara ini (yaitu dalam keadaan darurat sipil) kewajiban untuk memberikan keterangan sebagainya dimaksud itu, dibebankan hanya kepada setiap pegawai negeri. Untuk keadaan darurat militer perhatikanlah pasal 23 sub c dan untuk keadaan perang, pasal 36 sub c;- untuk tingkatan keadaan bahaya ini kewajiban termaksud dibebankan kepada "semua orang". Arti "alasan yang sah" sebagai diuraikan dalam ayat 1, pun peniadaan kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan sebagai dimaksud dalam ayat 2 berpedoman pada ketentuan dalam hukum acara yang berlaku (pasal 277 H.I.R.); dan pada pasal 166 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Yang dimaksud dengan perkataan "keluarganya sampai cabang kedua" ialah keluarga dalam garis cabang ("zijlinie") sampai derajat kedua ("tweede graad").

Pasal 13.

Pasal ini memberi kuasa kepada penguasa Darurat Sipil untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi hak mengumumkan dan menyebarkan perasaan dan pendirian dengan lisan, tulisan dan gambar. Dengan ini, maka ia boleh menyimpang dari perundang-undangan pusat tentang ini dan menentukan hukuman-hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan- peraturannya. Kekuasaan yang istimewa ini sudah perlu diberikan dalam keadaan darurat sipil oleh karena pengawasan harus segera ada terhadap usaha-usaha untuk mempengaruhi, alam pikiran masyrakat kearah merusak jiwa dan kedaulatan bangsa. Untuk keadaan darurat militer dan keadaan perang, lihat berturut-turut pasal 26 dan pasal 40. Dalam pasal 26 disebut "mengadakan tindakan-tindakan untuk membatasi" dan pasal 40 menggunakan perkataan "melarang" dan menutup percetakannya".

Pasal 14.

Syarat "dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa" sudah barang tentu tidak berlaku buat Penguasa Darurat Sipil sendiri. Pada ayat 1 dinyatakan, bahwa penjabat-penjabat yang dapat disuruh oleh Penguasa Darurat sipil adalah terbatas, berhubung dengan kekerasan yang dapat digunakan, jika yang mempunyai menghalangi penggeledahan. Selain daripada yang diharuskan oleh ayat 3, laporan yang dibuat tentang suatu pemeriksaan harus menyebutkan segala sesuatu yang membolehkan dan memaksakan tindakan dilakukan pada waktu itu.

Pasal 15.

Apabila petunjuk-petunjuk mengenai materie dalam pasal ini diberikan berdasarkan pasal 7 ayat 1, maka selayaknya itu disesuaikan dengan peraturan-peraturan acara pidana.

Pasal 16.

Pasal ini mengenai pengambilan/pemakaian barang daripada dinas umum. Lihat selanjutnya penjelasan pada pasal 37 yang lebih luas dari ketentuan dalam pasal 16 ini.

Pasal 17.

Arti percakapan tilpon dan kantor adalah dalam pengertian yang seluas-luasnya. Pada umumnya susah sekali melakukan pengawasan terhadap pesawat-pesawat radio dan seterusnya. Itulah sebabnya diadakan ketentuan seperti yang tersebut dalam angka 3 dari pasal ini. Yang dimaksud dengan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak ialah antara lain : pesawat penerima radio, tape/wire recorder, alat-alat public address.

Pasal 18.

Perhatikanlah penjelasan pada pasal 13. Yang dimaksud dengan "rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum" ialah :

a. rapat-rapat/pertemuan-pertemuan yang terbuka;
b.rapat-rapat/pertemuan-pertemuan yang sungguhpun tertutup  diselenggarakan sedemikian rupa sehingga sesungguhnya sifatnya menjadi tidak tertutup lagi. Selanjutnya, perlunya ayat 2 ialah untuk menutup gedung-gedung, tempat-tempat kediaman dan lapangan-lapangan bagi mereka yang memakainya untuk mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Mengenai upacara-upacara agama (periksalah ayat 3) hendaklah dimengerti bahwa segala sesuatu yang bersangkutan dengan pemeliharaan kerokhanian termasuk "bijvel-kringen" dan lain-lain pertemuan yang semata-mata bersangkutan dengan pelaksanaan ibadah, tidak akan dikenakan pembatasan-pembatasan sebagai yang dimaksud dalam pasal ini. Dengan rapat-rapat Pemerintah dimaksud rapat-rapat yang diselenggarakan oleh badan-badan Pemerintah dan oleh dewan- dewan perwakilan rakyat.

Pasal 19.

Memberi kemungkinan untuk ;mengadakan jam malam dan pembatasan-pembatasan lain yang sedemikian.

Pasal 20.

Maksud pasal ini ialah untuk mencari hubungan-hubungan antara pengacau dan keterangan-keterangan yang berharga. Pemeriksaan badan dan pakaian hanya ditujukan kepada orang yang dicurigai saja. Agar pemeriksaan diselenggarakan setertib-tertibnya dan sekorek-koreknya, perlu diadakan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaannya.

Pasal 21.

Oleh karena penjabat-penjabat dari pemeintahan umum dalam keadaan biasa dapat memerintah polisi untuk melakukan tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan umum, maka sudah terang Penguasa Darurat Sipil dalam keadaan darurat seharusnya juga boleh memerintahkan polisi. Selain dari itu, sudah tentu perlu dinas pemadam kebakaran dan dinas-dinas atau badan keamanan yang lain langsung dibawah perintah Penguasa Darurat Sipil seperti yang dikemukakan oleh pasal ini. Dalam memerintahkan anggota-anggota Kepolisian dan seterusnya itu, Penguasa Darurat Sipil sedapat-dapatnya mengindahkan garis-garis hierarchie yang berlaku dilingkungan badan-badan tersebut sehingga terjamin hubungan dan kerja-sama yang sebaik-baiknya demi kelancaran penyelenggaraan tugas dalam rangka keadaan bahaya.

Pasal 22.

Dalam pasal ini tergambar sistim yang sama sebagai yang terdapat dalam pasal 8. Dalam pasal 22 ini untuk perpanjangan-peraturan/tindakan Penguasa Darurat militer ditetapkan jangka-waktu "selama-lamanya enam bulan dan seterusnya". (Dalam pasal 8 disebut selama-lamanya empat bulan"). Demikian itu karena umumnya / perobahan masyarakat sebagai akibat keadaan darurat militer adalah amat besar dan lebih besar dari yang terbawa oleh bahaya-bahaya yang dapat dilayani dengan pernyataan wilayah/bagian wilayah/daerah dalam keadaan darurat sipil. Selanjutnya karena dengan dihapuskan keadaan darurat militer penguasa-penguasa keadaan darurat militer tidak bekerja lagi, maka untuk selanjutnya penyelenggaraan, tugas penguasa darurat militer yang berhubungan dengan peraturan-peraturan/tindakan-tindakan dipertahankan itu, perlu diserahkan kepada instansi lain : periksalah ayat 4. Ayat 5. Tidak memerlukan penjelasan. Ayat 6. Cukup jelas.

Pasal 23.

Sub a. : Tidak membutuhkan penjelasan. Sub b : Tidak membutuhkan penjelasan. Sub c : Berhubungan dengan lebih gentingnya keadaan negara/daerah dalam keadaan darurat militer (jika dibadingkan dengan keadaan yang dapat.dilayani dengan pernyataan keadaan darurat sipil).

Pasal 24.

Dari ayat 1 ternyata, bahwa kekuasaanmenjaga keamanan yang diserahkan menurut desentralisasi pun dapat diambil oleh Penguasa Darurat Militer untuk dilakukannya sendiri. Hubungan kerja-sama antara penjabat-penjabat sipil dari pemerintahan umum yang melakukan tugas keamanan dalam keadaan-biasa, ditentukan menurut ayat 2 pasal ini. Menurut pasal 21 lingkungan penjabat-penjabat sipil yang dapat tunduk kepada Penguasa Darurat Sipil adalah terbatas. Akan tetapi dalam keadaan darurat militer selayaknya Penguasa Darurat Militer berkedudukan lebih tinggi, berhubung dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi lebih dipentingkan daripada ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan pasal ini maka pergeseran kekuasaaan tidak beku, akan teapi fakultatief menurut keadaan. Sebaliknya akan tidak ada pegangan lagi, apabila pasal ini dihilangkan, sekalipun bersifat umum. Tentu saja tetap menjadi perspalan, bila kekuasaani itu dapat dipakai oleh Penguasa Darurat militer. Presiden dapat memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya.

Pasal 25.

Terhadap hak-hak yang disebutkan oleh angka 1, terserah kepada Penguasa Darurat Militer untuk mengaturnya menurut pandangannya serta mengadakan ancaman hukuman. Angka 2 memperluas kekuasaan yang telah diberikan oleh pasal 17. Ketentuan yang dikemukakan oleh angka 3 berarti membolehkan pelenggaran hak milik dan penyimpangan dari perundang-undangan pusat. Angka 4 bermaksud menghilangkan keragu-raguan tentang kekuatan beberapa perundang-undangan pusat tentang perusahaan. Terang, bahwa tindakan berdasarkan ayat ini harus disesuaikan dengan pasal 18 ayat 2. Angka 5 dan 6 cukup jelas. Hanya ada perbedaan, pada angka 5 mengenai "dari dan kedaerah" yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer, sedangkan pada angka 6 mengenai "dalam daerah itu seniri". Angka 7. Kekuasaan mengatur lalu-lintas bukan saja membolehkan mengeluarkan peraturan-peraturan yang umum berlaku, akan tetapi juga yang khusus.

Pasal 26.

Periksalah penjelasan pada pasal 13 dan pasal 40.

Pasal 27.

Dalam pasal ini ditetapkan secara jelas terhadap surat-surat manakah penguasa dapat bertindak. Jawatan pengangkutan yang dimaksudkan tidak terbatas pada jawatan pos saja. Juga badan-badan pengangkuatan lain tersebut oleh pasal ini, baik kepunyaan orang preman maupun dalam pengangkutan pemerintah yang lain. Pengertian kantor kawat adalah yang seluas-luasnya. Jadi tidak hanya terbatas pada kantor kawat pemerintah. Pun surat-surat kawat harus diartikan seluas-luasnya dan berita yang hendak dikawatkan juga dipandang sebagai surat kawat.

Pasal 28.

Menurut pasal ini Penguasa Darurat Militer berhak mengeluarkan orang yang dianggap berbahaya untuk keamanan dari daerah atau bagian daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Hak ini dapat dipakai, setelah orang yang bersangkutan diperiksa dan ternyata ada cukup alasan untuk menganggap orang itu berbahaya untuk daerah tersebut. Tentu saja hak ini hanya berarti, apabila sebagian wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan bahaya. Ayat 2 merupakan jaminan bagi orang yang diperlakukan menurut ayat 1. Kekuasaan mengusir orang telah diberikan kepada pemangku kekuasaan dalam tingkatan kedua, oleh karena selain daripada bahaya bencana alam tiap-tiap bahaya yang mengancam negeri berpusat dan bersumber pada kekuatan orang, sekalipun diperhatikan benar bahwa kemerdekaan orang itulah salah satu hak mutlak yang terpenting.

Pasal 29.

Mereka yang tenaganya berguna untuk keamanan dan perekonomian, dapat dilarang oleh Penguasa Darurat Militer meninggalkan daerah. Ini terutama ditujukan kepada pemimpin-pemimpin perusahaan dan pekerja-pekerja akan tetapi juga terhadap pekerja-pekerja jawatan-jawatan tambahan seperti Palang Merah, Pemadam Kebakaran dan pula terhadap pedagang-pedagang. Pembatasan terhadap larangan ini tidak ada.

Pasal 30.

Perintah-perintah yang dapat dikeluarkan ini hanya yang mengenai lapangan kekuasaan Penguasa Darurat Militer yang bersangkutan sendiri, yaitu untuk kepentingan keamanan atau pertahanan dan pelaksanaan peraturan Penguasa Darurat Militer.

Pasal 31.

Sementara, yaitu dalam keadaan darurat militer "militerisasi" hanya dapat diadakan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat. Bandingkanlah pasal ini dengan pasal 42.

Pasal 32.

Kekuasaan yang tersebut dalam ayat 1 perlu untuk kepentingan pemeliharaan keamanan. Sekitar penahanan termaksud diadakan pembatasan yang agak banyak.

Pasal 33.

Disini Penguasa Darurat Militer diberi wewenang menyimpang dari perundang-undangan pusat yang dimaksud yang tersebut secara limitatip.

Pasal 34.

Dalam keadaan darurat sipil belum diadakan pembatasan serupa yang terdapat dalam, ayat 1 pasal ini. Dengan ayat 1 pasal ini Penguasa Darurat Militer mempunyai pengawasan preventif atas instansi-instansi daerah dalam mengeluarkan peraturan-peraturan. Menurut ayat 2, Presiden dapat memberi kekuasaan kepada Penguasa Darurat Militer Daerah untuk mengatur hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, kecuali hal-hal yang harus diatur oleh Presiden bersama-sama D.P. R. Selanjutnya periksalah Penjelasan Umum pada Angka 6.

Pasal 35.

Perhatikanlah penjelasan pada pasal 22.

Pasal 36.

Perhatikanlah penjelasan pada pasal 23.

Pasal 37.

Berdasarkan pasal ini, untuk langsung kepentingan keamanan atau pertahanan, Penguasa Perang dapat mengambil untuk dimiliki atau mengambil untuk dipakai barang-barang apapun juga. Pengambilan yang dilakukan oleh penguasa perang dapat mengakibatkan barang menjadi milik negara atau barang dipakai untuk sementara saja. Pengertian "sementara" itu tidak boleh melampaui batas penghapusan keadaan darurat atau keadaan perang. Pengambilan mana yang harus dilakukan terserah kepada pandangan Penguasa Perang, asal saja keadaan dan kedudukan barang diperhatikan benar-benar. Macamnya barang yang boleh diambil tidak ditentukan. Dalam pada itu hendaklah diperhatikan, bahwa pasal ini hanya mengenai barang berupa benda saja. Setelah barang diambil untuk dimiliki, maka beban-beban dan hak-hak yang bersangkutan berpindah ketangan negara. Untuk tiap-tiap pengambilan barang untuk dimiliki, selalu harus dibuat suatu keputusan dan seboleh-bolehnya untuk pengambilan untuk dipakai saja, demikian juga. Tentu saja harus diatur bentuk surat keputusan yang sama. Selanjutnya harus disematkan surat keputusan ini pada surat akte resmi dari barang tidak bergerak yang bersangkutan. Apabila sekiranya barang tidak bergerak itu tidak mempunyai surat akte resmi, maka sudah selayaknya tembusan surat keputusan, disampaikan kepada Asisten Wedana (Camat) dimana barang itu berada. Ayat 4 memperhatikan kepentingan pemilik semula.

Pasal 38.

Pasal ini memberi kekuasaan yang lebih luas daripada kekuasaan yang disebutkan oleh pasal 14, supaya barang-barang yang diperlakukan segera dapat diperoleh pada saat yang mendesak. Selain dari itu, Penguasa Perang dapat mengadakan peraturan dengan ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak mau memenuhi permintaan untuk menyerahkan barang, dengan ketentuan bahwa barang yang tidak rela dilepaskan itu disita.

Pasal 39.

Biasanya diantara barang-barang yang diambil menurut pasal 37 tidak sedikit yang memerlukan pekerja-pekerja yang mempunyai kepandaian istimewa, umpamanya kapal, paberik dan sebagainya. Itulah sebabnya, barang-barang demikian tidak ada artinya, apabila kepada Penguasa Perang tidak diberi hak menuntut tenaga orang yang berada didaerah yang dinyatakan dalam keadaan perang. Bagaimana tenaga-tenaga itu diperlakukan, diatur oleh Penguasa Perang, serta dengan Peraturan Penguasa Perang dapat diadakan ancaman hukuman.

Pasal 40.

Cukup jelas, periksalah pasal 13 dan pasal 26. Perbedaan antara dua pasal ini ialah bahwa pasal 26 berkisar pada pembatasan dan pasal 40 ini pada larangan; selanjutnya bahwa larangan termaksud tidak perlu menunggu sesuatu peraturan untuk melarang itu. Agar tindakan melarang itu diselenggarakan sebaik-baiknya, perlu diadakan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaannya.

Pasal 41.

Sebagai pelaksanaan pasal 30 Undang-undang Dasar diadakan suatu undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban warga- negara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan membela daerahnya (periksalah Undang-undang No. 29 tahun 1954 tentang pertahanan negara berhubungan dengan pasal 11 Aturan Peralihan Undang -undang Dasar), akan tetapi kewajiban ini akan terbatas pada lingkungan orang tertentu saja dan pula tidak semua orang dari golongan ini akan melakukan pembelaan nusa dan bangsa serentak. Maka dari itu, perlu sekali adanya pasal 41 angka 1. Seperti diketahui, pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang hampir sama bunyinya dengan angka 2 dari pasal 41 ini, semata-mata ditujukan kepada mereka yang menimbulkan atau menyuburkan pemogokan, sedangkan angka 2 ini memberi kekuasaan kepada penguasa keadaan perang untuk mengadakan larangan dan memberikan hukuman terhadap mereka yang melakukan pemogokan itu sendiri. Tentu saja, pemogokan yang dimaksudkan bukan terbatas kepada pemogokan yang bertujuan potlik saja dan pekerja-pekerja yang melakukan pemogokan haruslah mereka yang mempunyai ikatan dengan perusahaan yang bersangkutan. Perlu ditegaskan disini, bahwa larangan mogok terbatas pada perusahaan-perusahaan/jawatan-jawatan/badan-badan yang vital saja, dengan tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang berkepentingan untuk perbaikan nasibnya dalam batas-batas hukum dan menyalurkan tuntutan-tuntutannya menurut procedure yang ditentukan oleh undang-undang. Angka 3. Cukup jelas, yaitu diberi kekuasaan kepada penguasa keadaan perang supaya dapat juga bertindak terhadap majikan-majikan perusahaan-perusahaan penting untuk menghilangkan ketegangan yang sekiranya timbul antara majikan dan buruh. Satu sama lain merupakan imbangan daripada ketentuan dalam angka 2. Sudah selayaknya bahwa hakim yang dihadapkan perkara pemogokan berdasarkan angka dua pasal ini, dalam memutus perkara tersebut akan menyelidiki sebab-musabab tindak pidana termaksud, yang mungkin sekali terletak pada kesalahan pihak majikan. Satu sama lain merupakan pertimbangan dalam menentukan putusan oleh hakim.

Pasal 42.

Baru dalam keadaan perang Penguasa keadaan bahaya tingkat daerah diberi wewenang untuk mengadakan militerisasi. Bandingkanlah dengan ketentuan dalam pasal 31.

Apabila wewenang yang diberikan oleh pasal 41 ditujukan terhadap orang warganegara, maka wewenang yang diberikan oleh pasal 42 (dan 31) kepada Penguasa keadaan bahaya ditujukan terhadap suatu jawatan, perusahaan, perkebunan atau suatu jawatan, perusahaan, perkebunan atau suatu jabatan, yang dengan sendirinya akan membawa pula akibat orang-orang pegawainya.

Pasal 43.

Sebaliknya dari pada kekuasaan yang diberikan oleh pasal 28 yaitu untuk mengeluarkan orang yang dianggap berbahaya untuk keamanan dari suatu daerah, maka tindakan yang dikemukakan oleh pasal ini memperbolehkan penguasa keadaan perang memaksa orang, terhadap siapa terdapat petunjuk-petunjuk bahwa ia akan menganggu keamanan, untuk berdiam dalam satu daerah, kota/atau tempat yang tertentu. Sekalipun terhadap orang yang bersangkutan mungkin diadakan pengawasan yang keras, akan tetapi ia tidak boleh dipandang sebagai orang tahanan biasa. Untuk menjamin ketentuan hukum, maka untuk penunjukan tempat berdiam termaksud, disyaratkan surat keputusan berdasarkan berita-acara (proces-verbaal) dan salinan surat keputusan serta berita-acara itu harus dikirimkan kepada Presiden dan kepada orang yang diperlakukan tindakan. Pemeriksaan harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Guna memberikan jaminan kepada orang yang diperlakukan menurut pasal ini, dibuka kemungkinan bagi orang yang bersangkutan untuk mengajukan keberatan kepada Presiden yang dalam hal ini mengambil putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung. Selanjutnya perhatikanlah bagian terakhir dari penjelasan pasal 18. Wewenang tersebut dalam pasal 43 ini, dengan sendirinya hanya dipergunakan dalam keadaan yang memaksa sekali terutama dalam keadaan telah timbul perang.

Pasal 44

Pasal inilah yang terpenting dari seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan ini dan memberikan kekuasaan tambahan kepada Penguasa Perang, yang hampir tidak atas batas luasnya, karena dengan kekuasaan tersebut Penguasa Perang dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pusat, dapat mencampuri semua lapangan kekuasaan Pemerintahan. Untuk penggunaan kekuasaan menurut pasal ini hanya disyaratkan adanya "keadaan yang membahayakan keselamatan Negara yang sangat mendesak pada saat itu". Satu sama lain menurut penilaian Penguasa Perang yang bersangkutan. Tidaklah perlu dan tidaklah baik, apabila dalam menggunakan kekuasaan ini Penguasa Perang mengadakan penyimpangan terhadap pasal-pasal Undang-undang Dasar dan/atau Peraturan ini sendiri. Tidak perlu, oleh karena dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Peraturan ini, langsung atau tidak langsung ternyata, bahwa kepada Penguasa Perang telah diberikan kekuasaan penyimpangan tersebut serta dari kekuasaan umum berdasarkan pasal 44 ini Penguasa Perang dapat mengadakan penyimpangan yang berupa apapun juga terhadap perundang-undangan pusat (selain dari Undang-undang DASAR dan Peraturan induk tentang keadaan bahaya). Tidak baik, oleh karena maksud yang terpenting dan sengaja dikemukakan oleh jiwa peraturan ini ialah, bahwa perundang-undangan pusat yang ada, tetap berlaku terus dan bahwa alat-alat perlengkapan pembentuk perundang-undangan pusat tetap melakukan fungsinya. Demikian pula tidaklah dibenarkan apabila dengan kekuasaan ini, Penguasa Perang hendak menyimpangkan ideologi Negara, azas-azas dan sendi-sendi pokok yang tercantum dalam Undang-undang Dasar dan haluan Negara. Berhubung dengan persoalan yang amat prinsipil ini sudah semestinyalah diadakan syarat bila kekuasaan ini dapat dipakai, dan ditentukan pengawasan terhadap pemakaian kekuasaan yang luas biasa ini oleh Penguasa Perang. Itulah sebabnya dalam ayat (2) dietapkan, bahwa tindakan-tindakan yang diambil oleh Penguasa Perang Daerah berdasarkan pasal 44 ini harus segera diberitahukan kepada Presiden disertai alasan-alasan yang cukup, bahwa keadaan memang sungguh mendadak datangnya, dan oleh karena itu memang sungguh-sungguh terpaksa tindakan-tindakan yang bersangkutan diambil apabila tidak hendak membiarkan berlangsungnya keadaan yang fatal bagi Negara. Jadi apabila keadaan yang membahayakan keselamatan Negara tidak mendadak datangnya dan tidak sengat mendesak dibutuhkannya tindakan istimewa, maka tindakan yang diambil berdasarkan pasal 44 ini dapat dikakatakan tidak pada tempatnya. Bahaya yang datangnya perlahan-lahan tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk memakai kekuasaan ini. Dalam hubungan itu semua harus diingat batas Hukum Keadaan Bahaya, ialah adanya keseimbangan antara bahaya yang menimpa dan alat pengelak yang dipergunakan. Presiden tetap masih bertanggungjawab tentang semua tindakan Penguasa-penguasa Perang dan Penguasa-penguasa Perang tidak berubah kedudukannya sebagai alat Pemerintah. Maka oleh karena itu dan oleh karena kekuasaan ini haruslah dijaga agar supaya tidak melampaui batas-batas seperlunya. Presiden memberikan petunjuk-petunjuk kepada Penguasa-penguasa Perang tentang tindakan-tindakan yang telah diambil dan yang menyimpang dari perundang-undangan pusat, dan Penguasa-penguasa Perang harus mematuhinya petunjuk-petunjuk tersebut. Jikalau tidak, sangsi-sangsi Pidana Tentara/Disiplin Tentara atau sangsi yang diatur dalam pasal 58 Peraturan ini akan diambil terhadap Penguasa Perang yang bersangkutan.

Pasal 45.

Dengan ini maka orang yang bukan seorang Militer dapat membuat kehendak terakhirnya dihadapan tiap-tiap pejabat umum atau tiap-tiap Perwira Angkatan Perang dengan disaksikan oleh dua orang.

Pasal 46.

Agaknya sudah semestinya penguasa dapat melaksanakan tindakan-tindakannya dengan kekerasan, akan tetapi ayat. 1 ini perlu berhubung biaya yang dikeluarkan harus ditanggung oleh orang yang tidak mau menuruti perintah dan oleh karena umumnya tindakan harus cepat dilakukan, maka biaya itu dapat segera dituntut dengan tidak ada putusan dari hakim.

Pasal 47.

Pasal ini dan berikutnya menyebutkan hukuman-hukuman terhadap pelanggaran peraturan-peraturan dari Peraturan ini. Hanya pasal ini adalah suatu peraturan hukuman yang umum sifatnya serta pasal ini membolehkan pensitaan barang-barang yang bersangkutan dengan perbuatan yang melanggar suatu ketentuan dari Peraturan ini. Hak milik barang bukan suatu syarat.

Pasal 48.

Tidak membutuhkan penjelasan.

Pasal 49.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 50.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 51.

Supaya jangan terlalu berat, menurut pasal ini kelalaian saja tidak cukup untuk menghukum orang. Berhubung dengan keistimewaan yang dapat diadakan oleh Presiden, maka pejabat-pejabat dipisahkan dari orang biasa.

Pasal 52.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 53.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 54.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 55.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 56.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 57.

Pasal 57 ini bermaksud mencegah, setidak-tidaknya memperkekecil, peyalah gunaan wewenang yang diberikan oleh Peraturan ini.

Pasal 58.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 59.

Penahanannya harus dilakukan berdasarkan Peraturan ini atau Peraturan lain. Pasal ini memberi wewenang kepada penguasa keadaan bahaya untuk menunjuk tempat-tempat penahanan lain daripada yang lazimnya dipakai sebagai rumah-tahanan.

Pasal 60.

Suatu jaminan untuk sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan. Disamping itu, terhadap penjabatpenjabat penguasa sipil atau penguasa militer yang menyalah-gunakan kekuasaannya, diadakan ancaman hukuman sebagai yang ditetapkan dalam pasal 57 Peraturan ini.

Pasal 61.

Maksud pasal 61 ini ialah, untuk jangan sampai ada kehampaan hukum (rechtsvacuum). Ketentuan demikian biasa diadakan untuk mengatasi taraf peralihan pada setiap kali ada perubahan perundang-undangan. Dengan berindukkan pada Peraturan ini kemudian, maka taraf demi taraf diadakan perubahan/penggantian seperlunya sesuai dengan azas-azas yang dikandung oleh Peraturan.ini.

Termasuk Lembaran-Negara Nomor 1908

Diketahui: Menteri Muda Kehakiman, RAHARDJO.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel